ARSITEKTUR RAMAH LINGKUNGAN :
Prinsip Hijau untuk Semua Langgam
Penggunaan
tanaman berdaun lebat untuk melindungi area atap dan dinding bisa mengurangi
paparan sinar matahari langsung sehingga bagian dalam rumah lebih sejuk .
Ketika kesadaran mengenai konservasi energi dan lingkungan kembali berkembang,
konsep green living pun mengemuka. Tapi mungkin timbul pertanyaan, rumah
dengan gaya arsitektur seperti apakah yang pas untuk menerapkan konsep hidup
selaras dengan alam itu?
Kalangan
arsitek pun menjabat tegas: semua langgam arsitektur bisa masuk! Ini karena
konsep hijau atau ramah lingkungan itu lebih menekankan pada perilaku atau pola
pikir penghuninya. Sebuah rumah bisa dikatakan sebagai rumah ramah lingkungan
ketika penghuni rumah menerapkan sejumlah parameter dalam green building
(bangunan ramah lingkungan).
Taman
Gantung
Aplikasi
hijau itu tak sekadar banyak tanaman, tetapi ada perhitungan-perhitungan
tertentu dan banyak pertimbangan mulai dari perencanaan, pemilihan material,
pengolahan limbah, pengoptimalan sumber daya alam, penghematan energi dan
seterusnya, termasuk memperhatikan aspek sosial-ekonominya. Seorang arsitek
Solo, pemilik Rumah Rempah Karya Colomadu, Karanganyar, Paulus Mintarga,
menyebut semua perhitungan dan pertimbangan itu dengan istilah holistic
sustainability.
Sementara,
tampilan rumah lebih umum disebut dengan gaya atau langgam. Seorang arsitek
Solo, Dian Ariffianto, mengatakan banyak sekali langgam dalam arsitektur. Apa
pun langgamnya, selama rumah itu menggunakan prinsip-prinsip dalam green
building, menurut Dian, rumah tersebut bisa dikatakan sebagai rumah ramah
lingkungan, sehingga langgam itu tidak menjadi parameter dalam penilaian green
building.
“Sebenarnya
ada perhitungan khusus untuk mengetahui sebuah rumah itu ramah lingkungan atau
tidak, yakni jejak karbon. Salah satu yang terpenting bagaimana menyiasati
rumah untuk tetap nyaman dan mampu menghadapi iklim tropis yang kaya sinar
matahari, yakni dengan langgam apa pun tetapi tetap berkonsep menjadi rumah
ramah lingkungan. Misalnya untuk menyikapi iklim tropis, ketika konsep ramah
lingkungan diterapkan pada langgam minimalis, tentu harus menambah tritisan
atau pembayangan (shading) pada bukaan yang ada. Hal itu dilakukan agar
sinar matahari tidak langsung masuk ke rumah. Radiasi ultraviolet sinar
matahari bisa menyebabkan ruangan panas, sehingga tidak nyaman,” ujar Dian saat
dihubungi Espos, Selasa (9/7).
Tanaman
Pembatas Dinding
Menurut
Dian, sinar matahari itu harus direduksi sedemikian rupa dengan logika desain
tertentu. Sedangkan cahaya (terang) matahari, jelas dia, dimanfaatkan untuk
menerangi ruangan di siang hari agar tidak membutuhkan lampu lagi. Di sisi
lain, penggunaan air conditioning (AC) pun bisa dihindari dengan
mereduksi dinding yang terkena sinar matahari itu. Dengan mereduksi sinar
matahari dan memanfaatkan cahaya matahari maka setiap ruang dalam rumah bisa
nyaman dan hemat energi. Teknik ini merupakan salah satu prinsip dalam green
building.
Pengajar
Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Alpha Febela
Priyatmono, saat ditemui Espos, Rabu (10/7), menambahkan setelah
pengawasan sudah tertata maka orientasi bangunan rumah juga harus diperhatikan.
Orientasi rumah lebih baik menghadap ke selatan atau utara. “Orientasi rumah
itu diperhitungkan, mengingat sinar matahari datang dari timur dan barat.
Kuncinya jangan sampai melakukan pemborosan energi, terutama listrik dan air.
Agar tidak boros air, maka pengolahan limbah diperlukan agar limbah rumah
tangga tak meracuni lingkungan sekitar. Selain itu juga menjaga hubungan dengan
lingkungan sekitar,” jelasnya.
Bagi Alpha,
bangunan ramah lingkungan itu mengarah pada arsitektur berkelanjutan. Dalam
praktiknya, Alpha berpesan harus memperhatikan aspek ekonomis dan bisa memunculkan
budaya lokalnya. Arsitektur berkelanjutan itu, menurut Alpha, harus mencakup
tiga hal tersebut, yakni ramah lingkungan, ekonomis dan adaptif dengan muatan
lokal.
Rumput
Penutup Atap Titisan
Dalam
konteks langgam rumah, Alpha berpendapat gaya minimalis masih menjadi tren
sejak tahun 2000-kini. Sebelum tahun 2000, Alpha menjelaskan rumah-rumah banyak
menggunakan gaya country atau rumah lokal pedusunan. “Saya rasa rumah
masa 1980 hingga 1990-an, itu lebih banyak menggunakan tritisan dan lebih
nyaman daripada rumah gaya minimalis. Sekarang persepsi penghuni ketika membuat
rumah pasti ber-AC. Mestinya mindset masyarakat ini diubah, yakni
bagaimana mendesain bangunan tanpa AC,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar