Studi Struktur dan Konstruksi Bangunan Tradisional Rumah Pencu di Kudus
Rumah Pencu Kudus
Sumber : Hasil pengukuran lapangan (2011)
Setelahnya dilakukan pengembangan ke sisi
luar pada keempat arah, depan (ngajeng),
belakang (wingking), samping kanan (iringan
tengen), dan samping kiri (iringan kiwa)
dengan penambahan blandar pananggap.
Pananggap ini sebagai perluasan dari ruang
inti rong-rongan. Batas-batas pada sisi luar
dibawah blandar pananggap ini dipasang
gebyok, gebyok merupakan panil-panil
pembatas ruang dalam dengan ruang luar.
Koneksi gebyok dengan tiang-tiang pananggap
menggunakan kaitan sistem panil, gebyok
dipasang dengan dijepit dua profil baik dari
dalam dan dari luar, kecuali gebyok pada
emper ditambahkan gebyok sorong.
Pada rumah pencu ditemukan karakter khusus
pada perluasan blandar pananggap yang
terjadi pada bagian depan/emper. Gebyok
yang ada pada segmen emper tidak segaris
dibawahnya blandar pananggap emper,
gebyok mundur 1 meter sebagai upaya
perluasan teras depan dan struktur gebyok
pun memiliki dua lapis karakter.
Seperti halnya telah dijelaskan didepan bahwa
bangunan joglosatru merupakan salah satu
khasanah bentukan griya jawa berkarakter
joglo, yang secara struktur mampu
mengantisipasi gempa disamping mampu
menopang beban dirinya sendiri. Kelenturan
struktur merupakan wujud dari sistem ikatan
yang tidak permanen, seperti ‘cathokan’
(sambungan coak dan lidah) dan ‘anjingan’
(ceblokan). Dua sistem koneksi ini merupakan
inti sistem gaya geser yang lentur, dengan
perkuatan pada arah beban yang akan terjadi,
sehingga mampu merespon, yang akibatnya
bangunan tidak mudah roboh.
Untuk melaksanakan pekerjaan dalam
mewujudkan bangunan rumah pencu yang
berkarakter joglo diawali merangkai soko-guru
dan blandarnya yang membentuk bangunan
balok berdiri yang merupakan ruang inti joglo
yang disebut sebagai rong-rongan yang berdiri
di 4 (empat) pondasi yang disebut umpak
dengan sistem ceblokan. Tidak ada ikatan
yang sifatnya permanen dalam sistem struktur
tersebut, penggunaan pantek (santek) sangat
dominan dalam membangun konstruksi
tersebut.
Tahapan selanjutnya membangun tumpang
dan sari yang merupakan elemen transisi
antara rong-rongan terhadap rangka dan
penutup atap dengan sebutan ‘brunjung’.
Tumpangsari bersifat menghilangan gaya
lateral yang diakibatkan oleh gempa. Momen
yang terjadi karena beban lateral oleh gempa
diserap dan dibuat nol oleh tumpang sari yang
dibantuk oleh kekuatan ikatan yang disebut
‘purus’.
Saat terjadi gempa, apa yang diterima oleh
bangunan melalui elemen pondasi
menunjukan momen nol. Pondasi yang
berbentuk umpak dengan sistem ikatan
ceblokan berlaku sebagai jepit (sendi)
sehingga bersifat diam, sedangkan momen
terbesar pada blandar dan sunduk yang
menopang tumpangsari.
luar pada keempat arah, depan (ngajeng),
belakang (wingking), samping kanan (iringan
tengen), dan samping kiri (iringan kiwa)
dengan penambahan blandar pananggap.
Pananggap ini sebagai perluasan dari ruang
inti rong-rongan. Batas-batas pada sisi luar
dibawah blandar pananggap ini dipasang
gebyok, gebyok merupakan panil-panil
pembatas ruang dalam dengan ruang luar.
Koneksi gebyok dengan tiang-tiang pananggap
menggunakan kaitan sistem panil, gebyok
dipasang dengan dijepit dua profil baik dari
dalam dan dari luar, kecuali gebyok pada
emper ditambahkan gebyok sorong.
Pada rumah pencu ditemukan karakter khusus
pada perluasan blandar pananggap yang
terjadi pada bagian depan/emper. Gebyok
yang ada pada segmen emper tidak segaris
dibawahnya blandar pananggap emper,
gebyok mundur 1 meter sebagai upaya
perluasan teras depan dan struktur gebyok
pun memiliki dua lapis karakter.
Seperti halnya telah dijelaskan didepan bahwa
bangunan joglosatru merupakan salah satu
khasanah bentukan griya jawa berkarakter
joglo, yang secara struktur mampu
mengantisipasi gempa disamping mampu
menopang beban dirinya sendiri. Kelenturan
struktur merupakan wujud dari sistem ikatan
yang tidak permanen, seperti ‘cathokan’
(sambungan coak dan lidah) dan ‘anjingan’
(ceblokan). Dua sistem koneksi ini merupakan
inti sistem gaya geser yang lentur, dengan
perkuatan pada arah beban yang akan terjadi,
sehingga mampu merespon, yang akibatnya
bangunan tidak mudah roboh.
Untuk melaksanakan pekerjaan dalam
mewujudkan bangunan rumah pencu yang
berkarakter joglo diawali merangkai soko-guru
dan blandarnya yang membentuk bangunan
balok berdiri yang merupakan ruang inti joglo
yang disebut sebagai rong-rongan yang berdiri
di 4 (empat) pondasi yang disebut umpak
dengan sistem ceblokan. Tidak ada ikatan
yang sifatnya permanen dalam sistem struktur
tersebut, penggunaan pantek (santek) sangat
dominan dalam membangun konstruksi
tersebut.
Tahapan selanjutnya membangun tumpang
dan sari yang merupakan elemen transisi
antara rong-rongan terhadap rangka dan
penutup atap dengan sebutan ‘brunjung’.
Tumpangsari bersifat menghilangan gaya
lateral yang diakibatkan oleh gempa. Momen
yang terjadi karena beban lateral oleh gempa
diserap dan dibuat nol oleh tumpang sari yang
dibantuk oleh kekuatan ikatan yang disebut
‘purus’.
Saat terjadi gempa, apa yang diterima oleh
bangunan melalui elemen pondasi
menunjukan momen nol. Pondasi yang
berbentuk umpak dengan sistem ikatan
ceblokan berlaku sebagai jepit (sendi)
sehingga bersifat diam, sedangkan momen
terbesar pada blandar dan sunduk yang
menopang tumpangsari.